Hari Raya = Hari Biasa

Artikel

 

Dalam keadaan pandemi Covid 19, kita menyaksikan adanya fenomena masyarakat yang masih menginginkan ibadah rutin di masjid dan juga sholat ied berjamaah di masjid atau di lapangan.

Saya mencoba memandangnya dari aspek lain, aspek sosial.

Masyarakat kita sudah sangat terbiasa hidup di Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam. Kebebasan beribadah di masjid dan merayakan hari raya tidak pernah ada halangan berarti.

Barangkali semenjak kita lahir, baru kali ini sholat Jumat diganti dengan sholat Dhuhur di rumah. Apalagi sholat ied, dalam sejarah belum pernah terjadi sholat hanya di rumah cukup dengan keluarga. Orang yang belum khutbah terpaksa harus khutbah. Sepanjang usia kita, rutinitas dan kemudahan itu selalu kita nikmati.

Sekali lagi saya mencoba memandang dari perspektif berbeda.

Selama ini kemudahan yang kita nikmati merupakan anugerah yang luar biasa.

Kita hidup di negara yang mayoritas Muslim, hampir tiap RT ada mushola. Tiap kompleks ada masjid.

Coba kalau kita memandang ke negara lain, di mana penganut Islam sangat minoritas. Tidak ada masjid, mushola, dan suara lantunan adzan.

Saya pernah merasakan hal ini. Dua puluh tahun yang lalu kami hidup di Jepang untuk tugas belajar. Kami tinggal di Kota Hozumi, kota kecamatan, termasuk wilayah perdesaan. Kami betul-betul minoritas. Di kota tersebut barangkali hanya keluarga kami dan satu kolega dari Jakarta yang Muslim. Untuk Jumatan harus ke kota tetangga, harus naik sepeda, nyambung kereta, dan nyambung bus kota. Dalam hitungan jam baru sampai lokasi. Itu pun sholat Jumatnya bukan di masjid, tapi di ruang tenis meja mahasiswa yang sempit di Kampus Gifu University.

Seringkali saya harus lari ke stasiun setelah parkir sepeda untuk mengejar kereta. Karena kalau ketinggalan kereta ngalamat tidak bisa mengejar waktu sholat Jumat. Kadang sholat Jumat pun tidak bisa tiap Jumat karena ada kuliah, seminar, dan kegiatan kampus yang harus diikuti.

Bagaimana kalau hari raya? Di kota Hozumi kami merayakannya sendirian, kalau mau bersama harus kota Gifu.

Kalau hari raya biasanya kami minta izin ke dosen supervisor untuk berangkat agak siang untuk melaksanakan sholat ied alhamdulillah diperbolehkan. Setelah itu ya ke kampus, malaksanakan kegiatan rutin kampus seperti biasa. Tidak ada suasana bahwa sedang hari raya, apalagi mendengar suara takbiran.

Dalam keadaan seperti sekarang ini, kami sekeluarga jadi ingat, ketika kami di Jepang dulu. Lebaran dalam suasana seperti hari biasa. Hal ini menjadikan kami tidak kaget. Kami terbiasa hari raya dalam kesendirian, jauh dari keluarga.

Semoga tulisan ini dapat semakin menambah rasa syukur kita bahwa selama ini kita diberi kesempatan beribadah dan merayakan hari raya dengan leluasa tanpa ada kekhawatiran dan pembatasan.

Wallahu a’lam bishawab. Semoga bermanfaat.