Gratis ongkir dan kepoin aja, dua kata inilah yang sekarang kita temui dalam era jual beli secara online. Biasanya dipakai emak-emak ketika menawarkan barang dagangannya melalui media sosial. Jual beli secara online atau dikenal dengan istilah e-commerce, bukan hal baru bagi saya. Disertasi saya ketika program doktor di Jepang judulnya juga tentang e-commerce, yakni “E-Commerce Difussion Model for Developing Countries, the Case of Indonesia”. Apa yang saya teliti dulu ternyata banyak terbukti sekarang.
Artikel ini bukan cerita tentang disertasi 18 tahun yang lalu (akan saya ceritakan di lain artikel), namun tentang pengalaman saya kemarin. Efek dari WFH dan stay di rumah saja, belanja online sekarang menjadi alternatif solusi untuk belanja. Saya beli durian di mana penjualnya saya peroleh lewat grup WA. Harga dan ongkir disepakati, barang dikirim lewat Go-send.
Namun apa yang terjadi? ternyata mengecek barang hanya lewat foto sama sekali tidak menjamin barang akan didapat sesuai keinginan. Satu durian sama sekali tidak bisa dimakan karena walaupun suatu sedikit terbuka kulitnya seolah sudah mateng namun ketika dibuka belum matang. Bijinya ada yang hitam, kemungkinan sekali kena hama. Dari ukuran barang juga di luar perkiraan, tidak segede yang saya bayangkan. Saya menyesal karena tidak tanya bobot barangnya.
Pengalaman lain, bulan lalu keluarga kami juga belanja secara online ke toko konvensional yang menerima transaksi lewat WA, namun barang yang didapat ada yang sudah kadaluwarsa. Saya komplain ke pihak penjual, alhamdulillah responnya cepat sekali. Manajer toko yang bersangkutan bersama provider produk tersebut mendatangi rumah saya. Pihak toko memberikan saya parsel, dan provider produk memberikan produk-produk tambahan banyak sekali, yang nilai bisa sepuluh kali lipat lebih. Ini sebagai permintaan maaf mereka.
Kembali ke Dejavu tentang bidang saya ketika S3 di Jepang, ketika itu saya jadi kolumnis di koran online. Beberapa kali artikel saya dimuat. Sekarang koran online tersebut sudah almarhum, tutup dan tidak bisa diakses. Namanya Satunet.com. Salah satu artikelnya adalah tentang e-commerce yang sekarang sedang marak di negeri kita.
Walaupun sudah lebih dari 18 tahun, file tentang artikel masih ada di komputer saya, dan saya sinkronkan ke layanan cloud. Saya mengajak pembaca untuk menyimak tulisan lama saya ini, semoga bermanfaat di saat Pandemic Covid-19 di mana belanja online menjadi alternatif untuk membatasi phisycal distancing. Silakan dinikmati.
Dari Barter Sampai E–Commerce
Kalau kita amati, fenomena e-commerce yang sedang populer terutama di dunia internet sekarang ini tidak dapat terpisahkan dari aktivitas perdagangan manusia sebelumnya.
Aktivitas perdagangan yang dilakukan pertama kali, sesuai dengan tingkat peradaban pada waktu itu adalah dalam bentuk barter. Suatu barang ditukarkan dengan barang tertentu. Transaksi ini sangat sederhana tapi banyak mengandung kelemahan. Menyadari akan kelemahan sistem barter ini, maka muncullah alat pembayaran dalam berjual beli. Alat ini kita kenal sekarang sebagai uang.
Berkat uang perdagangan menjadi lebih praktis karena ada standar harga yang jelas dalam bertransaksi jual beli. Muncul pula pusat-pusat jual beli yang disebut pasar. Pada tempat inilah antara penjual dan pembeli bertemu mengadakan transaksi diselingi dengan tawar menawar, akhirnya timbullah kesepakatan. Pasar dalam bentuk ini bisa kita sebut sebagai pasar tradisional.
Dalam pasar tradisional, kita masih menemui unsur-unsur; face to face, memegang atau meneliti barang, bargaining, dan alat pembayaran dalam bentuk uang riil.
Pada perkembangan berikutnya, manusia dalam bertransaksi jual beli tidak harus melalui tawar—menawar, karena har sudah ditentukan oleh si penjual, dan pembeli menyepakti lalu membayarnya. Perdagangan dalam bentuk ini mewujud dalam bentuk pusat—pusat perbelanjaan modern seperti yang kita kenal sekarang sebagai super market (pasaraya), mall, swalayan, dan lain—lain.
Di super market atau mall ini pembeli masih sempat memegang barang yang mau dijual. Memeriksa apakah cacat atau tidak, bahkan untuk barang tertentu seperti pakaian, pembeli dapat mencobanya terlebih dahulu.
Alat pembayaran yang digunakan dalam pusat perbelanjaan modern ini sudah mulai bervariasi. Disamping uang riil secara kontan sebagai alat pembayaran utama, kita juga sudah mengenal credit card.
Di pusat perbelanjaan modern pembeli juga kadang-kadang bukan sekedar membeli tapi bisa sembari berekreasi karena seringkali pusat perbelanjaan ini juga menyediakan arena hiburan.
Pergeseran dari bentuk pasar tradisional ke bentuk pasar modern di beberapa negara, termasuk di negara kita nampaknya berjalan berjalan beriringan. Pasar tradisional masih tetap eksis, di tengah menjamurnya swalayan atau mall. Namun di negara seperti Jepang, sudah sangat sulit untuk menjumpai pasar tradisional, kecuali dalam moment tertentu yang lebih bernuansa festival atau wisata.
Kemudian transaksi perdagangan tambah bervariasi dengan munculnya TV Media atau Home Shopping. Penjual menawarkan barangnya melalui layar televisi, kemudian calon pembeli yang berminat dapat memesannya melalui pesawat telepon. Interaksi antara penjual dan pembeli sudah semakin berkurang. Antara penjual dan pembeli hanya bertemu suara saja. Kesempatan untuk meneliti barang secara fisik sudah tidak ada. Alat pembayarannya juga berbeda, tidak seperti bentuk perdagangan sebelumnya.
Selanjutnya di era Internet ini, lahir fenomena baru dalam perdagangan, yang kita kenal sebagai electronic commerce atau e-commerce. Dalam e-commerce ini, interaksi antara penjual dan pembeli secara fisik berkurang sangat ekstrim, bahkan boleh dikatakan tidak ada. Melalui instrumen Internet yang mekanistis, transaksi dilakukan secara otomatis sampai masalah pembayaran dan verifikasinya.
Dalam e-commerce, unsur-unsur yang ada dalam commerce sebelumnya seperti face to face, memegang/memerikasa barang yang akan dibeli, dan tawar menawar sangat sulit dijumpai. Alat pembayarannya juga sangat berbeda, karena e-commerce tidak dalam bentuk uang kontan.
Hilangnya beberapa unsur dalam perdagangan ini mau tidak mau menimbulkan permasalahan. Inilah yang menjadi akar barrier dalam mengadopsi e—commerce, termasuk di Indonesia.
Kita tidak dapat memungkiri, masyarakat kita banyak yang masih berperilaku belanja di pasar tradisional dan pasar modern (super market/mall), untuk merubah perilaku masyarakat membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Selain permasalahan infratruktur dan computer literacy yang masih mengemuka dalam sebagai hambatan berbelanja melalui e-commerce, tiadanya unsur yang sebelumnya ada tersebut mendasari lahirnya problem trust dalam bertransaksi melalui e-commerce. Karena itu menjadi pekerjaan besar, bagaimana kita dapat membuktikan bahwa berbelanja melalui e-commerce juga tidak mengabaikan unsur trust dan security.
Membangun image bahwa berbelanja via e-commerce adalah aman, dapat dipercaya dan kecil resikonya serta menyenangkan, menjadi komponen yang paling utama dalam berbisnis via e-commerce. Dan yang tak kalah pentingnya, ketepatan membidik pangsa pasar dan seleksi produk yang ditawarkan juga harus diperhatikan.
Penulis
Ali Rokhman lahir di Winduaji-Bumiayu, Brebes. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto itu kini sedang menempuh S3 pada program Information Management Science, Graduate School of Business Administration, Asahi University ・Japan. Penelitian yang sedang dilakukannya pada saat ini adalah mengenai e-commerce adoption, dan knowledge and wisdom management. Bisa bersurat melalui alamat [email protected].
Artikel ini telah dimuat di http://satunet.com sekitar 20 tahun yang lalu.