Suatu pagi saya dibangunkan oleh suara adzan yang berkumandang, tanda waktu subuh telah tiba. Suara muadzin terdengar lantang asholaatu khoiru minannouum…..Dalam langkah saya ke masjid sayup-sayup terdengar suara puji-pujian dari masjid yang jauh entah di sebelah mana. Mendengar puji-pujian ingatanku melayang ke jaman saya kecil di kampung halaman.
Dulu waktu SD suara puji-pujian selalu mengiringi saya ketika berangkat ke kebun Gunung Buntu dan Sindang, di atas Waduk Penjalin. Kadang harus berlari ingin segera sampai di kebun, apalagi kalau malamnya habis turun hujan. Untuk apa? Untuk nutur (memungut) cengkih. Sambil memegang obor minyak tanah yang bikin cemang-cemong muka, kami bersemangat untuk memungut cengkih yang jatuh di bawah pohon. Jika hujan biasanya biji cengkih yang jatuh lebih banyak, dan ini menambah nafsu kami untuk cepat-cepat beraksi. Satu persatu kami pungut, ditaruh sementara di plincuk, yang terbuat dari daun salak. Jari kami sudah terlatih, lincah sekali memungut cengkih di kebun yang kadang becek diterangi obor yang kadang tertiup angin melambai-lambai bagaikan tarian untuk menyemangati kami.
Musim cengkih adalah peristiwa yang sangat dinantikan oleh warga desa kami, Winduaji, kecamatan Paguyangan, Brebes. Mayoritas penduduk bermata pencaharian di percengkihan. Bapak saya jadi petani sekaligus pengepul cengkih. Punya beberapa kebun yang tidak begitu luas, lokasinya terpencar, dan kebanyakan di daerah pegunungan, yang aksesnya harus dengan kemampuan untuk tracking dan mendaki pegunungan. Biji cengkih yang jatuh tidak hanya pagi saja yang dipungut, sore hari juga dipungut, apalagi jika baru kena terik matahari kemudian turun hujan. Biji cengkih banyak yang berjatuhan.
Tahun tujuh puluh sampai delapan puluhan adalah massa kejayaan desa kami. Gemah ripah loh jinawi kami rasakan. Tatkala musim cengkih pasar desa menjadi lebih ramai. Banyak pedagang dari luar kota datang ke pasar menawarkan berbagai macam barang dagangan. Kadang ada yang diselingi dengan hiburan berupa sulap, silat atau akrobat. Desa kami menjadi magnit, jika musim cengkih sedang bagus, rumah kami penuh dengan cengkih, banyak karyawan musiman yang datang. Rumah jadi semarak dengan aktivitas penuh karyawan mulai dari pemetik, pemungut (penutur), penjemur, dan ada yang bertugas khusus untuk mrithil yakni memisahkan biji cengkih dari tangkainya.
Saya masih ingat, makmurnya desa kami karena cengkih jadi membuat takabur para warga kami. Standar hidup menjadi meningkat. Bahkan ada yang menganalogikan telur itu ibarat boled (ketela rambat). Bahkan waktu itu wisata warga kami ada yang sampai ke Bali, dengan biaya per orang waktu itu Rp 25.000,- sangat-sangat mahal bagi orang kebanyakan, namun orang desa kami mampu membayarnya. Jika musim cengkih tiba, teman-teman sekolah saya banyak yang tidak masuk, karena membantu orang tuanya ngurusi cengkih, ada pula yang sampai keluar, tidak mau sekolah lagi, keasyikan bergelut dengan cengkih. Kalau dibuat grafik, per tahun, teman SD saya semakin turun trend jumlahnya, tergerus oleh musim cengkih.
Namun, awal tahun sembilan puluhan kondisi mulai berubah. Harga cengkih tidak sexy lagi. Disamping produktivitas tanaman cengkih yang menurun, karena tidak ada peremajaan, harga cengkih tidak bersahabat dengan petani. Bahkan ada kebijakan pemerintah yang monopolistis, mengharuskan cengkih harus dijual pada pihak tertentu, dengan harga yang sudah ditentukan. Saya masih ingat, betapa sulitnya bapak saya waktu itu untuk mencari orang yang mau disuruh untuk memetik cengkih, walaupun upahnya 50 persen dari cengkih yang dipetik. Tidak ada yang mau, karena harga jualnya sudah terjun bebas.
Cengkih yang tidak dapat diandalkan oleh warga desa kami inilah yang membuat saya berpikir, masa depan saya bukanlah di cengkih. Walaupun saya dibesarkan oleh orang tua petani dan pedagang cengkih, saya berkesimpulan, harus ganti haluan, say goodbye ke cengkih. Saya harus kuliah dengan sungguh-sungguh, bila perlu sampai pendidikan tingkat yang paling tinggi.
Kegagalan ekonomi desa kami telah memacu semangat saya dan memantapkan langkah, bahwa hanya dengan pendidikan nasib akan berubah, masa depan akan lebih baik. Alhmamdulillah selepas kuliah S1 di Fisip Unsoed, saya diterima untuk mengabdi di almamater menjadi dosen. Selanjutnya langkah-langkah untuk menggapai mimpi mulai terbuka, dapat kesempatan untuk kuliah S2, dan bahkan dapat beasiswa untuk sekolah doktor di negeri Sakura, Jepang dan berlanjut ke program post doctoral. Saya menjadi alumni FISIP pertama yang menjadi dekan di almamater. Dan sekarang saya sedang mengemban amanah menjadi Rektor Institut Teknologi Telkom Purwokerto.
Kamis 22.11.2018.
Ditulis di kereta menuju Jakarta dalam perjalanan ke Central China Normal University, Wuhan, Hubei, Republik Rakyat China. Diundang untuk mejadi pembicara tamu pada seminar internasional